7 Jul 2011

Fatwa-fatwa Penting tentang Taubat

Engkau mungkin berkata, “Aku ingin bertaubat, tetapi aku tidak mengetahui sesuatu pun tentang hukum-hukum berkenaan dengan taubat. Aku memiliki banyak pertanyaan bagaimana bertaubat dengan benar dari dosa-dosaku, bagaimana membayar ‘utang-utang’ku kepada Allah, kewajiban-kewajibanku terhadap-Nya yang telah aku abaikan, dan bagaimana mengganti kerugian orang lain yang (haknya) telah aku ambil atau yang aku tolak. Adakah jawaban dari semua pertanyaan ini?”

Inilah beberapa jawaban yang akan memuaskan dahagamu akan ilmu saat engkau kembali kepada Allah.

Pertanyaan :
Aku jatuh ke dalam dosa, kemudian aku bertaubat, namun jiwaku yang lemah terhadap kejahatan, nafsuku mengalahkanku dan aku mengulangi dosa itu! Apakah ini berarti taubatku yang pertama menjadi batal dan aku tetap menanggung beban dosa-dosa yang terdahulu sebagaimana dosa-dosa yang kemudian?

Jawaban :
Sebagian besar ulama berkata bukanlah menjadi syarat sebuah taubat yang sah bahwa seseorang tidak boleh melakukan dosa lagi. Syarat sahnya taubat adalah seseorang harus menghentikan perbuatan dosanya segera, benar-benar merasa menyesal telah melakukannya, dan berketetapan hati untuk tidak mengulanginya. Jika dia mengulanginya, maka dia seperti seseorang yang melakukan dosa yang baru, yang untuk dosa tersebut dia harus memperbaharui taubatnya, namun demikian taubatnya yang terdahulu tetap sah.

Pertanyaan :
Apakah taubat untuk suatu dosa sah ketika aku masih melakukan dosa yang lain?

Jawaban :
Ya, taubat untuk suatu dosa sah meskipun engkau masih melakukan kesalahan yang lain, sepanjang dosa-dosa tersebut bukan dari jenis yang sama, dan dosa yang kedua tidak berhubungan dengan dosa yang pertama. Misalnya seseorang yang bertaubat dari riba meskipun dia masih minum khamr, atau sebaliknya, maka taubatnya sah, namun jika dia bertaubat dari riba yang kecil sedangkan dia masih melakukan jenis riba yang beraneka ragam, maka taubatnya tidak akan diterima. Demikian juga, jika dia bertaubat dari merokok (menghirup) hashish manakala masih minum khamr (anggur) atau sebaliknya, atau dia bertaubat dari zina dari seorang wanita namun masih menjalin hubungan nista dengan wanita lainnya, maka taubatnya tidak akan diterima. Dalam kasus-kasus yang demikian, yang dilakukan seseorang adalah bergerak dari satu dosa kepada dosa yang lain yang tergolong ke dalam kategori jenis dosa yang sama (lihat al-madaarij).

Pertanyaan :
Aku telah mengabaikan hak-hak Allah di masa lalu, seperti shalat, puasa dan zakat. Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Jawaban :
Menurut pendapat yang paling benar, orang yang meninggalkan shalat di masa lalu tidak perlu menggantinya sekarang, karena waktu yang diwajibkan atas shalat-shalat terdahulu sekarang telah usai, dan dia tidak dapat melakukan apapun terhadapnya. Namun demikian, dia dapat menggantinya dengan taubat nasuha, beristigfar kepada Allah dan memperbanyak shalat naafil (sunnah) semampunya, agar Allah dapat mengampuninya.

Jika orang yang meninggalkan puasa adalah Muslim ketika puasa itu wajib dilaksanakan, maka dia harus menggantinya, lebih lanjut, dia harus memberi makan kaum fakir setiap hari Ramadhan yang dia tinggalkan, dan tidak menundanya sampai Ramadhan berikutnya tanpa alasan. Ini adalah kafarat dalam menunda puasa, dan akan tetap seperti itu, meskipun Ramadhan datang dan pergi.

Contoh 1:
seseorang meninggalkan puasa 3 hari di bulan Ramadhan pada tahun 1400 H dan 5 hari pada Ramadhan tahun 1401 H. Beberapa tahun kemudian dia bertaubat kepada Allah. Maka saat ini dia harus membayar 8 hari puasa yang ditinggalkannya, dan memberi makan satu orang miskin setiap hari selama 8 hari tersebut.

Contoh 2:
Seorang gadis mencapai masa pubertas pada tahun 1400 H, namun merasa malu untuk memberitahukan keluarganya, maka dia berpuasa selama 8 hari, dalam masa menstruasinya, dan tidak menggantinya dikemudian hari. (Puasa ini tidak sah karena wanita yang sedang haid dilarang untuk berpuasa). Setelah itu dia bertaubat kepada Allah, maka hukum yang sama berlaku – dia harus mengganti hari-hari itu dengan berpuasa dan memberi makan satu orang miskin setiap hari.

Perlu dicatat bahwa ada perbedaan antara meninggalkan shalat dan meninggalkan puasa. Ada sebagian ulama yang mengatakan seseorang yang dengan sengaja meninggalkan puasa tanpa alasan, tidak dapat menggantinya kemudian.

Orang yang tidak membayar zakat di masa lalu tetap harus membayarnya, karena itu merupakan hak Allah dan hak orang miskin. (Untuk informasi lebih lanjut, lihat Madarijis Salikin, 1/383)

Pertanyaan :
Jika dosa tersebut melibatkan hak-hak orang lain, bagaimanakah taubat yang harus dilakukan?

Jawaban :
Prinsip-prinsip yang mengatur perkara ini adalah hadits Rasulullah :
“Barangsiapa yang melakukan kesalahan terhadap saudaranya, apakah itu kehormatan atau harta, hendaklah dia mengembalikannya, sebelum diambil pada Hari dimana tidak akan ada dinar ataupun dirham, namun setiap kebaikan yang dimilikinya akan diambil dan diberikan kepada orang yang dizaliminya, dan jika dia tidak lagi memiliki kebaikan, dosa orang yang dizaliminya akan diambil dan ditempatkan di dalam timbangan kesalahannya.” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari).

Satu-satunya cara bagi orang yang bertaubat untuk kesalahan yang demikian adalah mengembalikan hak orang lain yang telah diambilnya, atau meminta maaf kepada mereka, dan segalanya akan menjadi baik, jika tidak maka dia harus membayar.

Pertanyaan
Aku melakukan dosa ghibah mengenai satu orang atau lebih, dan aku memfitnah orang lain dengan mengatakan mereka telah melakukan sesuatu yang tidak mereka lakukan. Apakah aku harus mengatakan kepada mereka apa yang telah aku lakukan dan meminta maaf dari mereka? Jika tidak, lalu bagaimana aku bertaubat?

Jawaban
Ini adalah perkara yang membutuhkan seseorang untuk menanggung baik buruknya.

Jika mengatakan kepada mereka mengenai ghibah dan fitnah tersebut tidak akan membuat mereka marah atau menyebabkan mereka membencimu, maka dia harus memberitahukannya meskipun hanya secara umum dan meminta maaf kepada mereka. Dia dapat berkata, “Aku telah berbuat salah kepadamu di masa lalu,” atau, “Aku telah berkata tidak adil terhadap dirimu dan kini aku telah bertaubat kepada Allah, tolong maafkan aku,” – tanpa bercerita secara rinci, dan ini telah mencukupi.

Namun apabila memberitahu mereka tentang ghibah dan fitnah ini kemungkinan akan memancing kebencian dan kemarahan mereka (yang lebih besar kemungkinannya dalam banyak kasus), atau jika secara umum tidak akan memuaskan mereka dan mereka mengingikan yang lebih mendetail (yang akan membuat mereka semakin membencinya) – maka dia tidak perlu memberitahu mereka, karena Islam tidak menghendaki meningkatnya kesalahan. Mengatakan kepada seseorang yang sebelumnya merasa santai dan gembira, mengenai sesuatu yang akan membuatnya marah dan memancing kebencian yang bertentangan dengan syariat, yang mencoba membuka hati kaum Muslimin satu sama lain dan menyebarkan cinta persaudaraan diantara mereka.

Memberitahukan seseorang tentang ghibah yang dilakukannya akan membuat orang itu mulai membencinya. Dalam kasus seperti ini, cukuplah bertaubat kepada Allah, dengan cara berikut ini:

Seseorang harus merasa menyesal, memohon ampunan Allah, berpikir tentang keburukan dosanya, dan meyakini bahwa hal tersebut adalah haram. Dia harus mengatakan kepada orang yang kepadanya diucapkan kebohongan bahwa apa yang pernah ia katakan tidak benar, dan dia harus membersihkan nama orang yang difitnahnya. Dia harus memuji orang yang telah difitnahnya, di pertemuan yang sama ketika ghibah itu terjadi, dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Dia harus membela orang yang telah dighibahinya di masa lalu, dan membantah demi orang tersebut jika ada yang berkata buruk tentangnya. Dia harus berdoa memohonkan ampun orang tersebut tanpa diketahuinya. (al-Madarij, 1/29; al-Mughni ma’a’l-Sharh al-Kabir, 12/78)

Perlu dicatat perbedaan antara hak-hak dari segi finansial dan hak-hak terhadap keselamatan fisik di satu sisi, dan hak-hak yang dipengaruhi oleh ghibah dan namimah, di sisi lain. Orang dapat menarik manfaat manakala dikatakan adanya penggantian dari hak-hak finansial mereka, dan mereka akan marah, itulah sebabnya merahasiakannya tidak diperbolehkan. Hal ini berbeda dalam kasus serangan terhadap kehormatan seseorang, yang mana menyingkapnya hanya akan menyebabkan kesulitan dan penderitaan.

Pertanyaan :
Bagaimana seorang pembunuh bertaubat?

Jawaban :
Seorang pembunuh telah melanggar tiga hak, hak Allah, hak korbannya, dan hak-hak ahli warisnya. Adapun hak-hak Allah, satu-satunya cara untuk membayarnya adalah dengan
bertaubat.

Berkenaan dengan hak-hak ahli waris, dia harus menyerahkan diri kepada mereka sehingga mereka dapat mengambil sendiri hak-hak mereka. Mereka memiliki tiga pilihan; qishash, diyat, atau mereka dapat memaafkannya.

Adapun mengenai hak-hak korban, maka tidak dapat diganti di dunia ini. Dalam kasus ini, para ulama berkata bahwa jika pembunuh melakukan taubat nasuha, Allah akan membebaskannya dari kewajiban membayar kembali kepada korbannya, dan Dia sendiri yang akan mengganti kerugian korban pada Hari Kebangkitan. Ini pendapat yang paling baik (al-Madarij, 1/199).

Pertanyaan :
Bagaimana seorang pencuri bertaubat?

Jawaban :
Jika barang-barang curian masih berada padanya, maka ia harus mengembalikan kepada pemiliknya. Jika dia telah membuangnya atau jika nilainya telah berkurang karena dipakai, rusak atau usang karena waktu yang lama, maka dia harus membayar nilai barang semula, kecuali pemiliknya berkenan memaafkannya.

Pertanyaan :
Saya merasa sangat malu dan tidak berani menghadapi orang-orang yang dari mereka aku mencuri, dan aku tidak dapat datang dan mengaku kepada mereka dan meminta maaf dari mereka. Apa yang harus aku lakukan?

Jawaban :
Tidak berdosa jika engkau mencari jalan untuk menghindari rasa malu yang tidak tertahankan untuk menghadapi mereka. Engkau dapat mengembalikan barang-barang mereka melalui orang ketiga, meminta orang tersebut untuk tidak menyebutkan namamu, atau engkau dapat mengirimkannya dengan pos atau engkau dapat meletakkannya secara sembunyi-sembunyi ditempat yang akan mereka temukan, atau engkau dapat menggunakan cara tidak langsung dengan berkata, “Ini apa yang seseorang berhutang kepadamu.” Yang penting bukanlah menyebutkan nama, tetapi mengembalikan barang yang merupakan hak mereka.

Pertanyaan :
Aku biasa mengambil dari dompet ayahku secara sembunyi-sembunyi. Sekarang aku ingin bertaubat, namun aku tidak mengetahui dengan pasti berapa banyak yang telah kuambil, dan aku sangat malu untuk berhadapan dengannya dan mengatakan kepadanya.

Jawaban :
Engkau harus memperkirakan berapa banyak yang telah engkau ambil sebaik yang engkau mampu, berpikir tentang yang lebih daripada kurang. Tidak ada salahnya mengembalikannya secara sembunyi-sembunyi sebagaimana engkau mengambilnya.

Pertanyaan :
Aku mencuri uang dari beberapa orang, dan kini aku telah bertaubat, namun aku tidak mengetahui dimana mereka tinggal. (Seorang yang lain mungkin berkata, “Aku menggelapkan uang dari sebuah perusahaan yang sekarang telah tutup, atau yang telah pindah ke tempat lain” atau “Aku mencuri dari sebuah toko yang sekarang berpindah tempat, dan aku tidak tahu siapa pemiliknya.”)

Jawaban :
Engkau harus mencari mereka, sejauh yang engkau mampu. Jika engkau menemukan mereka, maka berikan apa yang menjadi hutangmu. Jika pemiliknya telah meninggal, maka bayarkanlah kepada ahli warisnya. Jika, setelah usaha kerasmu, engkau tidak dapat menemukan mereka, maka berikanlah dengan jumlah yang sama dalam bentuk sedekah atas nama mereka meskipun mereka bukan Muslim, karena Allah akan membalas mereka di dunia ini, meskipun tidak ada pahala bagi orang-orang kafir di Hari Kiamat.

Perkara ini seperti apa yang dibahas oleh Ibnu Qayyim rahimahullah dalam al-Madarij (1/388): seorang laki-laki dari pasukan Muslim mencuri dari rampasan perang. Setelah beberapa waktu, dia bertaubat, dan membawa barang curiannya kepada komandan pasukan, yang menolak untuk menerimanya, dengan berkata, “Bagaimana aku bisa mengembalikan kepada para tentara ketika mereka telah dibubarkan?” Maka laki-laki itu datang kepada Hujjaj Ibnu As-Sa’ir (untuk meminta nasihatnya). Hujjaj berkata, “Allah mengetahui pasukan tentara itu. Dia mengenal nama-nama mereka dan nama-nama ayah mereka. Bayarkanlah seperlima bagi pemiliknya yang berhak (yakni baitul mal tempat dimana seperlima dari harta rampasan perang harus diberikan), dan berikan sisanya sebagai sedekah atas nama mereka. Allah akan memastikan bahwa sedekah itu akan sampai kepada mereka.” Maka laki-laki itu melakukan seperti apa yang dinasihatkan. Ketika dia memberitahu Mu’awiyah (Khalifah) mengenai hal tersebut, dia (Mu’awiyah) berkata, “Seandainya aku lah yang menyampaikan fatwa itu kepadamu, itu lebih aku sukai daripada setengah dari pemerintahanku.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengeluarkan fatwa serupa, yang juga disebutkan di dalam al-Madarij.

Pertanyaan :
Aku mengambil sebagian harta anak yatim secara tidak sah, dan menginvestasikannya dalam perdagangan. Hal ini membawa keuntungan yang berlipat ganda dari jumlah pertama. Dan sekarang aku mulai merasa takut kepada Allah. Bagaimana aku bertaubat?

Jawaban :
Para ulama memiliki beberapa pendapat dalam kasus ini. Yang paling moderat dan layak dari mereka menyarankan bahwa engkau harus mengembalikan nilai awal kepada anak yatim, bersama dengan setengah dari keuntungan yang diperoleh. Hal ini akan menjadikan dirimu dan mereka sebagai partner, sebagaimana yang telah berlangsung, dalam hal keuntungan, demikian juga dengan mengembalikan modal awal kepada anak yatim.

Pendapat ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, dan juga merupakan pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang oleh muridnya Ibnu Qayyim rahimahullah dipandang sebagai pendapat yang paling benar (al-Madarij, 1/392).

Hukum yang serupa juga berlaku pada kasus pencurian unta atau domba, jika mereka melahirkan anak, maka induknya beserta setengah dari anak-anaknya dikembalikan kepada pemilik yang syah. Jika induknya telah mati, maka dinilai dengan uang dan setengah dari anak-anaknya harus dikembalikan.

Pertanyaan :
Seorang laki-laki bekerja pada perusahaan angkutan udara yang menyimpan berbagai macam barang, dan dia mencuri radio kaset darinya. Beberapa tahun kemudian dia bertaubat. Haruskah dia mengembalikan radio kaset tersebut, ataukah dia harus menggantikan dengan nilai yang sebanding atau bentuk lain yang serupa, karena model yang sama tidak ada lagi di pasaran?

Jawaban :
Dia harus mengembalikan radio kaset yang semula ditambah dengan sejumlah uang yang sepadan untuk nilai depresiasi dari barang tersebut karena waktu, pemakaian dan kerusakan akibat pemakaian. Hal ini harus dilakukan dengan cara yang sesuai, tanpa menyebabkan bahaya atau kesulitan lain baginya. Jika hal ini tidak mungkin, maka dia harus memberikan sejumlah uang sama untuk sedekah atas nama pemilik yang sebenarnya.

Pertanyaan :
Aku memiliki uang dari hasil riba, namun saya telah menghabiskannya dan tidak ada lagi yang tersisa. Sekarang aku ingin bertaubat, apa yang harus aku lakukan?

Jawaban :
Yang harus engkau lakukan adalah melakukan taubat nasuha kepada Allah. Riba adalah perkara yang serius, seperti yang dapat dilihat bahwa di dalam Al-Qur’an; Allah tidak menyatakan perang terhadap seseorang kecuali terhadap orang-orang yang melakukan riba. Namun karena semua uang hasil riba telah habis, engkau tidak perlu melakukan sesuatu pun terhadapnya.

Pertanyaan :
Aku membeli mobil dengan uang yang sebagiannya halal dan sebagiannya haram. Aku masih memiliki mobil tersebut, apa yang harus aku lakukan?

Jawaban :
Jika seseorang membeli sesuatu yang tidak dapat dipisah-pisahkan seperti rumah atau mobil dengan uang yang sebagian halal dan sebagian lagi haram, maka cukup baginya mengambil sejumlah uang yang setara dengan uang haram yang dipakai itu, dari harta kekayaannya yang lain, dan membayarkannya sebagai sedekah, untuk memurnikan barang yang dimiliknya tersebut. Jika bagian uang haram tersebut berhubungan dengan orang lain, dia harus membayar mereka dengan nilai yang sama sebagaimana petunjuk pada pertanyaan sebelumnya.

Pertanyaan :
Apa yang harus dilakukan dengan uang hasil penjualan rokok, ketika telah bercampur atau ditabung bersama dengan uang halal yang lain?

Jawaban :
Seseorang yang menjual barang yang haram, seperti menjual peralatan musik, kaset-kaset haram dan rokok, ketika dia mengetahui hukumnya (dari menjual barang-barang tersebut), kemudian bertaubat, harus mengeluarkan keuntungan yang diperolehnya untuk alasan yang baik. Tujuannya adalah untuk mengeluarkannya; hal ini tidak terhitung sebagai sedekah, karena Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik dan murni.

Jika uang haram ini bercampur dengan yang uang halal yang lain seperti seorang pemilik toko yang menjual rokok bersama dengan barang-barang lain yang diperbolehkan, maka dia harus menghitung jumlahnya sebaik yang dia mampu, dan membayarkannya dalam kebaikan, dengan harapan untuk membersihkan hartanya. Allah akan menggantinya dengan kebaikan, karena Dia Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana.

Secara umum, seseorang yang memiliki kekayaan yang diperoleh dengan cara haram dan ingin bertaubat harus melakukan hal-hal berikut:

Jika dia bukan Muslim pada saat dia memperoleh uang itu, dia tidak harus mengeluarkannya ketika dia bertaubat, karena Rasulullah tidak memerintahkan para sahabatnya untuk menyingkirkan penghasilan haram mereka ketika mereka memeluk Islam.

Jika dia seorang Muslim ketika ia menerima penghasilan haram tersebut, dan mengetahui bahwa hal tersebut haram, maka dia harus mengeluarkannya sebagaimana mestinya, uang haram apa saja yang dipunyainya pada saat bertaubat.

Pertanyaan:
Seorang laki-laki biasa menerima suap, namun kini Allah telah menunjukinya kepada jalan yang lurus. Apa yang harus dia lakukan dengan yang diperolehnya melalui suap?

Jawaban:
Salah satu dari hal berikut ini dapat dilakukan:

Apabila dia mengambil suap dari orang yang teraniaya yang terpaksa membayar suap untuk mendapatkan hak-haknya karena tidak ada cara lain untuk mendapatkan hak-haknya tersebut. Dalam kasus ini maka orang yang hendak bertaubat harus mengembalikan uang suap tersebut karena hal itu dipandang mengambil dengan cara paksa.

Atau dia menerima suap dari orang yang juga melakukan kesalahan seperti dirinya, dan yang menggunakan cara suap untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Maka dalam hal ini, uang suap tersebut tidak perlu dikembalikan kepada orang yang memberikannya, tetapi harus dikeluarkan untuk sebab kebaikan, seperti memberikannya kepada orang miskin. Orang yang hendak bertaubat dari menerima suap juga harus bertaubat atas kerugian yang ditimbulkannya dengan menolak orang-orang berhak mendapatkannya dan memberikannya kepada orang yang tidak berhak.

Pertanyaan :
Aku melakukan hal-hal yang haram dan aku dibayar untuk itu. Sekarang aku telah bertaubat. Apakah aku harus mengembalikan uang kepada orang-orang yang telah membayarkannya kepadaku?

Jawaban :
Ketika seseorang melakukan kegiatan jasa yang haram, dan dia dibayar untuk itu, bertaubat, dia harus meninggalkan setiap penghasilan yang demikian yang masih dimilikinya, dan tidak mengembalikannya kepada orang-orang yang dari mereka dia mengambilnya.

Seorang pelacur yang mendapatkan uang dari hasil zina tidak boleh mengembalikan uang tersebut kepada pelanggannya ketika dia bertaubat. Seorang penyanyi yang biasa menerima pembayaran untuk menyanyikan lagu-lagu yang haram tidak boleh mengembalikan uang kepada pendengarnya ketika dia bertaubat. Orang yang biasa menjual khamr atau narkoba, tidak boleh mengembalikan uangnya kepada konsumennya ketika dia bertaubat. Orang yang biasa bersaksi palsu untuk mendapatkan bayaran, tidak boleh mengembalikan uang kepada mereka yang menggunakan jasanya ketika dia bertaubat dan seterusnya. Alasannya adalah jika uang tersebut dikembalikan kepada pelaku maksiat yang membayarkannya, hal itu berarti bahwa dia akan memperoleh dua hal; dosa dan uang haram (yang membuka peluang baginya untuk melakukan hal-hal haram lainnya). Ini adalah pendapat yang lebih disukai oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan dipandang sebagai pendapat yang paling benar oleh muridnya Ibnu Qayyim (al-Madarij, 1/390).

Pertanyaan :
Ada persoalan lain yang meresahkanku. Aku berzina dengan seorang wanita. Bagaimana aku bertaubat dari dosa ini? Bolehkan aku menikahinya untuk menutupi perbuatan itu?

Laki-laki yang lain mungkin berkata, bahwa dia melakukan zina ketika dia berada di luar negeri, dan akibatnya wanita tersebut hamil. Apakah anak tersebut adalah anaknya dan apakah wajib baginya mengirim uang untuk memenuhi kebutuhan anak tersebut?


Jawaban :
Pertanyaan seperti ini telah demikian sering diajukan karenanya penting sekali bagi umat Muslim untuk memberikan perhatian yang serius untuk memperbaiki dirinya sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah. Perhatian khusus perlu ditekankan terhadap merendahkan pandangan, menghindari berkhalwat dengan lawan jenis, menghindari berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, mengenakan hijab, tidak bercampur dengan lawan jenis, tidak bepergian ke negeri non-Muslim ketika tidak ada kebutuhan untuk melakukannya, memelihara rumah tangga dan keluarga Muslim, mendorong pernikahan dini dan menghilangkan hambatan-hambatan yang menghalanginya.

Adapun menyangkut pertanyaan mengenai orang yang melakukan zina, salah satu dari yang berikut ini dapat diterapkan:

Jika dia berzina dengan wanita dengan pemaksaan (yakni perkosaan). Maka dalam hal ini dia harus membayar dengan mahar yang sesuai sebagai ganti rugi dari keharaman yang dia sebabkan untuk wanita itu, dan dia harus melakukan taubat nasuha kepada Allah. Jika perkara ini telah diketahui oleh penguasa, maka hukuman yang sesuai akan dilaksanakan terhadapnya (Lihat al-Madaarij, 1/366).

Atau dia berzina dengan persetujuan wanita itu. Maka dalam kasus ini, yang harus dilakukannya adalah bertaubat. Anak tersebut tidak mewarisi namanya dan tidak dianggap sebagai anaknya. Dia tidak perlu membiayai anak tersebut karena anak ini hasil dari zina, dalam kasus ini anak tersebut memakai nasab ibunya, tidak dari ayah yang melakukan zina.

Tidak diperbolehkan seorang laki-laki yang bertaubat menikahi wanita (yang dia berzina dengannya) untuk menutupi hubungan tersebut, karena Allah berfirman: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik…” (QS An-Nur [24] : 3).

Tidak diperbolehkan seorang laki-laki menikahi seorang wanita yang hamil hasil dari zina meskipun yang dikandung itu adalah anaknya, atau menikahi seorang wanita yang tidak diketahui apakah dia hamil atau tidak.

Jika dia dan wanita tersebut melakukan taubat nasuha, dan terbukti wanita itu tidak hamil, maka diperbolehkan baginya menikahi wanita itu dan memulai hidup baru dengannya yang diridhai Allah.

Pertanyaan :
Aku melakukan zina dengan seorang wanita dan menikahinya, dan kami telah hidup bersama selama bertahun-tahun. Kini kami berdua telah bertaubat kepada Allah. Apa yang harus aku lakukan dalam hal ini?

Jawaban :
Sepanjang yang dilakukan adalah taubat nasuha oleh kalian berdua, engkau harus memperbaharui pernikahanmu, memenuhi syarat-syarat syar’i dihadapan wali dan dua orang saksi. Hal ini tidak perlu dilakukan di pengadilan, jika dilakukan di rumah maka hal itu telah mencukupi.

Pertanyaan :
Seorang wanita berkata bahwa dia menikah dengan seorang yang saleh, tetapi dia melakukan hal-hal sebelum menikah yang menimbulkan murka Allah. Kini kesadaran itu mengganggunya, dan bertanya apakah dia harus mengatakan kepada suaminya apa yang telah dilakukannya di masa lalu.

Jawaban :
Tidaklah pasangan berkewajiban memberitahukan yang lainnya mengenai hal-hal buruk yang mungkin mereka lakukan di masa lalu. Orang yang telah melakukan maksiat harus menutupinya sebagaimana Allah menutupi baginya. Taubat nasuha telah mencukupi.

Jika seorang laki-laki menikahi gadis perawan, namun menjadi jelas baginya setelah pernikahan bahwa sesungguhnya dia tidak lagi perawan karena perbuatan maksiat yang dilakukannya di masa lalu, dia mempunyai hak untuk mengambil kembali mahar yang telah diberikan isterinya dan menceraikannya. Namun demikian jika dia melihat bahwa isterinya tersebut telah bertaubat dan Allah telah menutupi dosanya, dan dia memutuskan untuk tetap tinggal bersamanya, maka Allah akan mencukupkan pahala baginya.

Pertanyaan:
Apa yang diwajibkan bagi seorang laki-laki yang bertaubat dari homoseksual?

Jawaban:
Keduanya baik yang melakukan dan yang menjadi objek perbuatan tersebut harus bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha. Tidak ada hukuman yang lebih buruk yang dikirimkan oleh Allah untuk suatu kaum melainkan yang dikirim untuk kaum Nabi Luth karena besarnya keburukan dan kejahatan dosa mereka. Hukuman itu adalah:

Penglihatan mereka diambil dan mereka ditinggalkan dalam keadaan buta tersandung, sebagaimana Allah berfirman: “Lalu Kami butakan mata mereka…” (QS Al-Qamar [54] : 37) Sayhbah (suara keras membahana, suara bergemuruh) dikirimkan kepada mereka. Rumah-rumah mereka dibalikkan Batu-batu dari liat yang terbakar, berkumpul dan menghujani mereka, dan mereka dibinasakan.

Oleh karena itu hukuman Islam yaitu bahwa orang yang ditemukan bersalah karena dosa ini (sodomy) harus dibunuh, apakah dia menikah atau tidak menikah. Nabi bersabda: “Barangsiapa yang engkau dapati melakukan dosa dari kaum Nabi Luth, bunuhlah mereka, baik yang melakukannya maupun orang yang menerima perbuatan itu.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmdzi, dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwa al-Ghalil).

Pertanyaan :
Aku telah bertaubat kepada Allah, namun aku masih memiliki beberapa barang yang haram, seperti alat-alat musik, kaset dan film-film. Bolehkah aku menjualnya, khususnya karena semuanya nilainya sangat banyak?

Jawaban :
Tidak diperbolehkan menjual barang haram, dan uang yang dihasilkan darinya juga haram. Nabi bersabda: “ketika Allah mengharamkan sesuatu, Dia juga mengharamkan hasil penjualannya.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud). Sepanjang engkau mengetahui siapapun yang membelinya akan menggunakannya untuk hal-hal yang haram, tidak diperbolehkan bagimu untuk menjual kepadanya, karena Allah telah melarang hal ini dalam ayat:
“…dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…” (QS Al-Ma’idah [5] : 2)

Seberapa pun banyaknya kerugian yang engkau alami, apa yang berada di sisi Allah lebih baik dan bertahan lama, dan Dia akan mengganti kerugianmu dengan ampunan dan nikmat-Nya.

Pertanyaan :
Aku dulunya seorang penulis yang sesat, menyebarkan pemikiran sekularis melalui kisah-kisah dan artikelku. Aku menggunakan syair-syairku untuk menyebarkan perzinaan dan kekejian, Kemudian Allah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya kepadaku, membawaku dari kegelapan kepada cahaya. Bagaimana aku bertaubat?

Jawaban :
Ini adalah karunia yang besar dari Allah. Inilah petunjuk yang karenanya kita memuji Allah. Kami berdoa kepada-Nya agar menolongmu agar istiqamah dan menambahkan bagimu hidayah.

Setiap orang yang biasa menggunakan kata-katanya, pena-nya untuk mengobarkan perang terhadap Islam dengan menyebarkan ideologi sesat, bid’ah, kerusakan dan kekejian, diwajibkan untuk melaksanakan hal-hal berikut:

Dia harus mengumumkan taubatnya dari semua yang pernah ditulis dan dipublikasikannya dengan segala cara yang ada meninggalkan tulisan-tulisannya yang sesat sebelumnya dan menolak semua ide-ide lamanya, sehingga pendiriannya yang baru akan dikenal dan tidak seorang pun dapat mengklaim bahwa dia sesat dengan tulisan-tulisannya yang saat ini telah diingkarinya. Pemberitahuan kepada khalayak ini adalah salah satu kewajiban dalam taubat untuk kasus seperti ini, sebagaimana Allah berfirman:
“Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah [2] : 160)

Mereka harus menggunakan perkataannya dan penanya untuk menyebarkan Islam, menghabiskan energinya untuk menolong agama Allah, mengajarkan manusia akan kebenaran dan mengajak mereka kepadanya.

Mereka harus mengarahkan energinya untuk memberikan serangan balasan bagi musuh-musuh Islam, membongkar mereka dan rencana-rencana mereka, dan membuktikan bahwa pernyataan mereka salah, sebagaimana dia dahulu mendukung mereka. Dengan demikian mereka akan menjadi pedang dalam mempertahankan kebenaran dari kedustaan. Demikian juga, seseorang yang sebelumnya meyakinkan orang lain bahkan dalam pertemuan pribadi mengenai sesuatu yang haram, seperti ide-ide tentang riba tidak dilakukan demikian cara begini-begini sehingga dapat dibenarkan, harus kembali kepada orang tersebut dan menjelaskan kebenaran kepadanya, sebagaimana sebelumnya dia menyesatkannya (dengan idenya tadi). Dengan cara ini dia dapat menebus dosanya yang sebelumnya. Dan Allah satu-satunya Pemberi Petunjuk.

Sumber :
Judul Buku "Aku ingin bertaubat tetapi..."
Karya : Syaikh Muhammad Saleh Al-Munajjid
Dapatkan Update Artikel RSS feed yang bermanfaat dari Saya, atau ikuti Saya di Twitter.
Email address:

0 komentar:

Posting Komentar